Rabu, 23 September 2015

Sejarah Hydroponik


Hydroponik sebenarnya bukan teknologi baru dalam bidang pertanian. Mesir, China dan India adalah Negara-negara yang pertanama kali mempraktekkan menanam semangka, mentimun dan sayur-mayur di bedengan pasir pinggir sungai. Mereka menyiramkan pupuk organic pada tanaman yang dibudidayakan sehingga bisa tumbuh optimal. 

Kegiatan menanam tanpa tanah ditulis pada buku Sylva Sylvarum oleh Francis Bacon yang dibuat pada tahun 1627, dicetak setahun setelah kematiannya. Setelah itu teknik budidaya pada air menjadi penelitian yang popular. Pada tahun 1699, John Woodward menerbitkan percobaan budidaya air dengan spearmint. Ia menemukan bahwa tanaman dalam sumber-sumber air yang kurang murni tumbuh lebih baik dari tanaman dengan air murni.


Seiring perkembangan ilmu pertanian, pada tahun 1842 telah disusun daftar Sembilan elemen diyakini penting untuk pertumbuhan tanaman, dan penemuan dari ahli botani Jerman Julius Von Sachs dan Wilhelm Knop, pada tahun 1859-1865, mengembangkan teknik budidaya tanpa tanah. Pertumbuhan tanaman darat tanpa tanah dengan larutan yang menekankan pada pemebuhan kebutuhan nutrisi mineral bagi tanaman. Hal tersebut dengan cepat menjadi standar penelitian dan teknik pembelajaran, dan masih banyak digunakan saat ini.

Hydroponik masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal tahun 1980-an. Di Tanah Air, Hydroponik mendapat sambutan hangat dari masyarakat, terutama para tanaman-lovers (pecinta tanaman/ hoby bertanam). Awalnya memang hanya para tanaman-lovers yang memanfaatkan budidaya dengan hydroponic ini. Bagi mereka budidaya tanaman tanpa tanah dengan hasil produksi yang tidak kalah dengan pertanian cara konvensional merupakan hal baru yang menarik.

Namun dalam perkembangnnya, Hydroponik tidak hanya dimanfaatkan oleh tanaman-lovers sebagai sarana untuk menyalurkan hobi mereka untuk bercocok tanam, tetapi juga mereka yang melihat hal ini sebagai salah satu pilihan usaha dalam agrobisnis. Lewat Hydroponik mereka bisa menghasilkan komoditas pertanian yang bernilai ekonomi tinggi, seperti sayuran-sayuran exclusive yang mahal, sehingga secara bisnis tergolong bentuk usaha baru yang feasible (layak) dan profitable (menguntungkan). 

Selasa, 01 September 2015

Hydroponic System NFT (Nutrient Film Technique)


Kali ini saya akan berbagi tentang Hydroponic yang menggunakan system NFT (Nutrient Film Technique). Pada Sistem ini akar tanaman dialiri air nutrisi setinggi kurang lebih 3mm. Mengapa cuma 3 mm yang teraliri air nutrisi? Karena kalau semua akar teraliri maka ruang untuk oksigen tidak ada sehingga akar kekurangan oksigen yang menyebabkan pertumbuhan kurang bagus, dan akar bisa membusuk atau tidak sehat (akar berwarna coklat).

Untuk Sistem ini, pengalaman kami menggunakan pipa PVC berukuran 3inch dengan panjang 3 meter. Pipa tersebut kami susun empat tingkat. Untuk mengalirkan nutrisi dari bak penampungan nutrisi ke pipa, kami menggunakan pompa air untuk kepasitas 3 meter. Kombinasi kemiringan pipa dan kecepatan air nutrisi harus diperhatikan, sehingga aliran terkontrol (tidak menggenang di salah satu titik).

Peralatan yang diperlukan untuk sistem ini antara lain, Bak penampungan nutrisi (kami menggunakan box Styrofoam biar air tetap dingin meski cuaca panas ), Pipa PVC 3 inch, rock wool, pompa air, netpot, kain flanel. 

keuntungan sistem NFT ini adalah, aliran nutrisi bisa seragam sehingga hasil panen lebih maximal. Sementara kekurangan dari sistem ini biaya awal yang besar serta bergantung pada listrik. 

Berikut saya lampirkan foto2 sistem NFT : 
Bak penampungan air nutrisi:















Selain menggunakan Pipa PVC, sistem NFT juga bisa menggunakan talang air, biasa disebut dengan gully. Sistem kerjanya sama, bedanya dengan talang air ini tidak perlu kain flanel, karena akar menempel dasar talang. Berikut contoh gambarnya :
Nampak atas:
Nampak Bawah: